LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Analisis Puisi Astana Rela Karya Amir Hamzah

Amir Hamzah adalah salah satu sastrawan dan penyair legendaris Indonesia. 

Dalam sejarah kehidupannya, Amir Hamzah pernah mencintai seorang wanita dari Jawa. Akan tetapi, ia tidak mampu mempersunting wanita pujaan hatinya tersebut karena Amir Hamzah dipanggil pulang ke Sumatra dan dinikahkan dengan putri seorang sultan.

Dalam puisi berjudul "Astana Rela" yang merupakan adikarya Amir Hamzah yang terdapat dalam buku Nyanyi Sunyi, kegelisahan sang penyair karena kondisi "tidak dapat menyatu dengan sang pujaan hati" disampaikan dengan baik dan indah.

Berikut ini teks puisi Astana Rela karya Amir Hamzah.

ASTANA RELA

Tiada bersua dalam dunia
Tiada mengapa hatiku sayang
Tiada dunia tempat selama
Layangkan angan meninggi awan

Jangan percaya hembusan cedera
Berkata tiada hanya dunia
Tilikkan tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari

Mula segala tiada ada
Pertengahan masa kita bersua
Ketika tiga bercerai ramai
Di waktu tertentu berpandang terang

Kalau kekasihmu hasratkan dikau
Restu sempana memangku daku
Tiba masa kita berdua
Berkaca bahagia di air mengalir

Bersama kita mematah buah
Sempana kerja di muka dunia
Bunga cerca melayu lipu
Hanya bahagia tersenyum harum

Di situ baru kita berdua
Sama merasa, sama membaca
Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Di mahkota gapura astana rela.

Ilustrasi Puisi Astana Rela karya Amir Hamzah
sumber gambar : Pixabay

Analisis Makna Puisi

Kata "astana" dalam kamus berarti istana (tempat kediaman raja dan keluarganya). Di sumber lain disebutkan bahwa "astana" berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna tempat. Dengan demikian, "astana rela" berarti istana keikhlasan.

Bait pertama, menunjukkan kesadaran sang penyair akan ketidakabadian dunia sehingga kesedihan karena keterpisahan dengan sang wanita tidaklah lama. Oleh karena itu, ia berkata "tidak mengapa" karena menyadari bahwa kesedihan tersebut hanya sepanjang hidup yang terbatas dengan umur manusia. Kemudian, ada perkataan layangkan angan meninggi awan, hal itu berarti jangan berlama-lama bersedihnya dan sebaiknya ia melayangkan angannya untuk hal-hal lain yang lebih penting (meninggi awan).

Pada bait ke-2, penyair menyarankan kepada sang wanita untuk tidak mempercayai embusan kabar yang dibawa oleh orang yang tidak jelas (cedera salah satu maknanya adalah nyenyak – kabar dari orang yang tidur/mengigau adalah orang yang perkataannya tidak jelas) bahwa tidak bertemunya mereka tidak hanya di dunia (artinya penyair meyakini bahwa mereka bisa jadi bersatu di alam setelah kematian). Ia mengajak sang wanita untuk melihat keadaan dengan hati yang jernih (tilikkan tajam mata kepala) sembari merelakan keadaan yang ada (sungkumkan sujud hati sanubari).

Pada bait ke-3, dijelaskan kondisi sang penyair dan sang wanita. Pada mulanya mereka tidak kenal. Pada pertengahan masa mereka berjumpa. Selanjutnya mereka berpisah. Baris keempat dalam bait ini yang sulit dimengerti, yaitu "di waktu tertentu berpandang terang." Arti dari baris ini bisa jadi waktu antara pertemuan dengan perpisahan mereka saling berpandangan. Bisa jadi setelah berpisah mereka saling memandang secara jernih (bisa dalam artian masih bertemu satu dengan yang lain, bisa pula memandang dalam pikiran yang berarti hanya mengenangkan masa yang silam).

Pada bait ke-4, dijelaskan bahwa apabila ada orang lain yang nanti mengasihi sang wanita dan berhasrat padanya (artinya menjadikannya sebagai istri/kekasih), maka restu dan berkat (sempana) akan diberikan oleh sang penyair terhadap hubungan itu. Pada saat itu, tiba masa bagi sang penyair dan sang wanita untuk "berkaca bahagia pada air yang mengalir" yang artinya berbahagia (atau mencoba bahagia) dengan nasib yang berjalan bagaikan air mengalir.

Dalam bait ke-5, dijelaskan bahwa sang penyair dan sang wanita akan bersama mematah buah berkat (sempana) kerja di muka dunia. Hal ini berarti sang penyair dan wanita akan sama-sama memetik hasil kerja di dunia (bisa jadi tidak dalam artian bersama secara fisik). Dalam baris selanjutnya dijelaskan bahwa "bunga cerca melayu lipu", yaitu kondisi sang penyair (bersuku Melayu) yang lipu (suram/kuyu), tetapi tetap bahagia karena telah menjalani kehidupan dengan penuh kerelaan.

Dengan pengertian seperti di atas, sang penyair menyatakan kepada sang wanita bahwa seperti itulah seharusnya cara yang baik (rangkaian mutiara) untuk memaknai keterpisahannya dengan sang wanita, yaitu dengan melepaskan diri sang wanita dengan penuh kerelaan dan tetap hidup menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya (di sini frase "di mahkota gapura astana rela" menunjukkan adanya kerelaan hati).

Post a Comment

Arsip