LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah

Puisi "Padamu Jua" adalah mahakarya Amir Hamzah yang terdapat dalam buku Nyanyi Sunyi. Inilah puisi hebat yang sering dibicarakan oleh para sastrawan.

Banyak orang menginterpretasikan puisi ini berkaitan dengan ketuhanan dan religiusitas, serta mengganggap "mu" pada kata "padamu" menunjuk pada Tuhan. Namun demikian, saya tidak menginterpretasikan demikian.

Menurut saya, puisi ini berkenaan dengan rasa cinta penyair kepada sang kekasih yang tak sirna meskipun tak bisa memiliki secara fisik.

Berikut ini teks puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah.


PADAMU JUA

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ....

Gambar Ilustrasi Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah

Analisis Makna Puisi

Puisi ini bertemakan tentang cinta yang tak padam meski telah berpisah jarak dan waktu.

Sang penyair tak bisa memiliki wanita pujaan hatinya, tetapi cintanya pada sang wanita tidak pernah padam. Sang wanita bagaikan pelita (kandil) yang selalu melambai perlahan mengajaknya untuk pulang, yang membuat sang penyair selalu kembali mencintai sang wanita.

Sang penyair merindukan pertemuan dengan sang wanita ("aku manusia//rindu rasa// rindu rupa") yang berada jauh darinya ("di mana engkau// rupa tiada"). Meski sudah lama tidak bertemu, kenangan akan sang wanita bagai suara lirih yang mengingatkan dirinya pada sosok yang dicintainya tersebut ("suara sayup// hanya kata merangkai hati").

Bayangan sang wanita sering muncul dalam benak sang penyair, meskipun munculnya ingatan terhadap sang kekasih tidaklah sepanjang hari ("bertukar tangkap dengan lepas"). Kemunculan ingatan akan sang wanita ibarat hewan buas yang hendak memangsa korbannya (artinya seakan-akan tak mau melepaskan sang penyair dari bayangan tersebut).

Rasa cinta dan sayang sang penyair tak pernah lekang, bahkan membuatnya seakan-akan gila ("nanar aku, gila sasar"). Sang wanita bagaikan dara di balik tirai, yang tidak dapat diraih meskipun ingin sekali dijumpai.

Kasih sang wanita adalah kasih yang sunyi, tidak bisa dinyatakan dan diungkapkan secara langsung. Namun demikian, kasih itu tetap ada ("menunggu seorang diri"). Sepertinya, antara sang penyair dan sang kekasih masih saling mencintai, tetapi terpaksa berpisah karena keadaan.

Di akhir puisi, sang penyair menyatakan kegetirannya, bahwa waktu dan hari tidak memihak kepada dirinya untuk mendapatkan sang wanita dalam kehidupannya.

Post a Comment

Arsip