LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Analisis Arti Puisi Krawang–Bekasi Karya Chairil Anwar

krawang bekasi karya Chairil Anwar

Puisi "Krawang–Bekasi" merupakan saduran dari puisi berjudul "The Young Dead Soldiers Do Not Speak" karya Archibald MacLeish.

Menurut H.B.Jassin (tokoh sastra Indonesia), puisi "Krawang–Bekasi" memiliki persamaan suasana, beberapa pikiran, dan urutan pikiran dengan puisi MacLeish. Namun, dalam puisi tersebut Chairil Anwar juga menuangkan pengalamannya sendiri ke dalamnya sehingga secara keseluruhan nampak seperti versi yang asli dari Chairil Anwar.

Chairil Anwar dikenal sebagai penyair yang individualistis, tetapi penyaduran puisi Krawang-Bekasi menunjukkan bahwa beliau tidaklah seperti itu. Sapardi Djoko Damono (dalam artikel berjudul Chairil Anwar Kita) menyatakan bahwa:

  • "....sajak sadurannya 'Krawang-Bekasi' sama sekali tidak menunjukkan sikap itu." Yang dimaksud sikap itu adalah sikap individualistis.
  • "Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya."
  • "Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu..."

Teks Puisi Krawang – Bekasi Karya Chairil Anwar

KRAWANG – BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang–Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4–5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang–Bekasi.

(1948) 


Analisis Arti Puisi Krawang-Bekasi Karya Chairil Anwar

Mari mulai menganalisis makna puisi ini. Pembahasan saya lakukan terhadap keseluruhan puisi, bukan kalimat per kalimat (jadi harus membaca keseluruhan puisi terlebih dahulu sebelum memahaminya). Meski demikian, saya tampilkan kalimat yang relevan berkaitan dengan pembahasan supaya lebih mengena di pikiran.

(Kami yang kini terbaring antara Krawang–Bekasi)

Puisi ini mempersonifikasikan mayat sebagai manusia yang masih hidup, seolah mayat-mayat tersebut dapat berpikir dan berbicara. Kata "kami" merujuk pada orang-orang "yang terbaring antara Krawang–Bekasi", yang "mati muda", yang jumlahnya sangat banyak sehingga diumpamakan "4-5 ribu nyawa.

(Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi)

Mereka telah mati, tidak bisa berteriak "merdeka", dan tidak bisa berbuat lebih jauh lagi bagi bangsa. Mereka telah memberi segala yang mereka punya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan (disimbolkan dengan menjaga tokoh sentral perjuangan Indonesia: Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir).

(Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi)

Mereka kemudian berbicara kepada kita dalam hening di malam sepi. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait pilihan kata (diksi) yang digunakan, yakni:

  • "Jika dada rasa hampa" untuk menjelaskan hening di malam hari. Ialah di malam hari yang hening, segala perasaan hampa itu mengemuka lebih jelas. Hampa memiliki keterkaitan dengan ketiadaan makna. Ini cocok dengan keadaan para mayat, yang seakan sudah tidak bisa berarti karena tidak bisa berbuat apa pun lagi. Mereka ingin memiliki makna, yakni dengan menjadi semacam inspirasi bagi generasi penerus dalam meraih kemerdekaan, kemenangan, dan harapan.
  • "Jam dinding yang berdetak" untuk menjelaskan hening di malam hari. Di malam hari yang hening, suara sekecil apapun akan terdengar, bahkan juga detak jam dinding.

(Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa)

Tugas mereka di dunia telah selesai karena mereka sudah mati, tapi tidak dengan kerja yang mereka lakukan. Mereka sudah menjadi mayat, tidak bisa berbuat apa pun lagi. Mereka telah menjadi sejarah, masa lalu. Mereka hanya tulang belulang berserakan. Akan tetapi, perjuangan melanjutkan kemerdekaan tidak pernah usai. Mereka adalah kepunyaan kita, rakyat Indonesia. Mereka bagian dari sejarah Indonesia. Pun demikian dengan jiwa mereka, semangat mereka, dan kerja mereka.

(Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa)

Kita yang hidup sesudah mereka akan menentukan makna pengorbanan mereka. Perjuangan mereka bisa tidak berarti apa-apa, hanya sebagai sejarah yang tertulis di atas kertas. Namun, perjuangan mereka bisa pula menjadi inspirasi bagi kita untuk meraih dan meneruskan kemerdekaan, kemenangan, dan harapan. Semua bergantung pada kita, generasi penerus bangsa. Karena hanya orang yang masih hidup yang dapat bertindak dan berbuat.

(Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian)

Mereka meminta kita untuk berjaga di garis batas pernyataan dan impian. "Garis batas" dapat berarti garis terdepan yang harus dijaga. Ada dua garis yang disebutkan, yakni:

  • Pernyataan. Dalam hal ini, pernyataan merupakan suatu sikap yang jelas, karena sikap itu dinyatakan bukan hanya dipendam dalam hati. Dengan demikian, mereka ingin agar kita memiliki sikap yang tegas terhadap perjuangan bangsa.
  • Impian. Dalam hal ini, impian merupakan sesuatu yang diinginkan. Mereka inginkan agar kita terus menjaga mimpi-mimpi untuk mencapai kemerdekaan, kemenangan, dan harapan.

(Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami....Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi)

Terakhir, dalam puisi ini ada dua kontras yang disebutkan oleh Chairil Anwar, yakni suara "deru" dan "hening di malam sepi". Bagaimana bisa dikatakan hening jika terdengar suara menderu? Di sinilah, menurut saya, menunjukkan kepada siapa pesan mereka ditujukan.

Tidak semua orang dapat mendengar suara deru mereka. Hanya orang yang berada dan terjaga dalam hening yang mungkin bisa. Tentu saja, bukan suara deru yang sebenarnya, melainkan citraan akan suara menderu ketika mereka maju dan berdegap hati. Saya katakan citraan karena mereka sudah mati. Suara menderu mereka berada di masa lalu. Lalu, siapa yang bisa mendengar suara menderu mereka, ialah dia yang mau merenungkan keberadaan dan perjuangan mereka.

Secara ringkas, puisi ini adalah pesan dari para pejuang terdahulu agar kita meneruskan perjuangan mereka untuk berjaga di garis batas pernyataan dan impian, demi terwujud dan terpeliharanya kemerdekaan, kemenangan, dan harapan bangsa Indonesia.

Post a Comment

Arsip